Jakarta, Suararealitas.co — Polemik hukum internal di tubuh PT Blue Bird Taxi kembali mencuat setelah Mintarsih, salah satu mantan direktur, mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2601 K/Pdt/2015. Kasus ini bermula dari gugatan perdata yang diajukan oleh Purnomo, sesama direktur di PT Blue Bird Taxi, pada tahun 2013, yang dinilai banyak pihak sarat kejanggalan dan tidak mendapat persetujuan pemegang saham hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang diadakan dikediaman Mintarsih Pada Senin, (20/10/2025).
Perkara dengan Nomor 313/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel itu menandai awal perselisihan keluarga pendiri Blue Bird yang kemudian disebut-sebut sebagai bentuk “peradilan sesat”. Gugatan tersebut menuntut Mintarsih untuk mengembalikan seluruh gaji yang pernah diterimanya selama menjabat sebagai direktur. Ironisnya, dasar gugatan hanya bersumber dari kesaksian Diana Novari Dewi, sekretaris pribadi Purnomo yang masih bekerja di bawahnya, tanpa disertai bukti konkret, contoh pekerjaan, atau saksi independen lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam persidangan, tiga saksi lain dari pihak Purnomo yang juga masih aktif di bawah struktur manajemen yang sama, justru tidak memberikan kesaksian mengenai kinerja Mintarsih. Sebaliknya, Mintarsih menghadirkan lima saksi mantan karyawan kantor pusat PT Blue Bird Taxi, yang menerangkan bahwa dirinya aktif menangani berbagai aspek operasional mulai dari pengaturan pesanan, database pelanggan, bengkel, hingga sistem manajemen komputer dan pelatihan teknis bagi tenaga pemrogram dan operator.
“Jika dianalisis dengan objektif, terlihat bahwa peran Mintarsih sangat dominan dalam operasional perusahaan, sementara Purnomo justru jarang hadir di kantor,” demikian bunyi bagian dalam salinan putusan PN Jakarta Selatan halaman 152–170.
Selain tuntutan pengembalian gaji, gugatan juga mencakup tuduhan pencemaran nama baik akibat pemberitaan media. Namun, Mintarsih menilai tuduhan tersebut tidak berdasar karena berita yang dimaksud bersumber dari fakta lapangan yang disaksikan langsung oleh jurnalis. “Apabila merasa dirugikan, seharusnya ditempuh mekanisme Hak Jawab sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” ujarnya dalam pernyataannya.
Meski banyak kejanggalan terungkap, gugatan tetap berlanjut hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan menghasilkan putusan denda sebesar Rp140 miliar, tanpa melibatkan ahli waris Mintarsih dan tanpa adanya putusan sita jaminan.
Namun permasalahan tidak berhenti di sana. Pada tahun 2024, muncul serangkaian langkah eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dinilai melanggar prosedur. Berdasarkan surat Teguran No. 23/Eks.Pdt/2024, para ahli waris Mintarsih dipanggil untuk melaksanakan pembayaran denda meski tidak menjadi pihak dalam perkara. Selain itu, pada 16 Desember 2024, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat Relaas Pemberitahuan Pelaksanaan Sita Eksekusi, yang pelaksanaannya hanya berselang dua hari setelah surat diterima pihak Mintarsih.
Mintarsih juga menyebut adanya pemblokiran aset tanah secara “tetap” oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui beberapa surat resmi pada tahun 2020, meski tidak ada putusan pengadilan terkait sita jaminan.
Lebih jauh, Mintarsih menyoroti sejumlah tindakan yang disebutnya sebagai intimidasi keluarga, termasuk dugaan penganiayaan oleh keluarga Purnomo terhadap seorang perempuan lansia berusia 74 tahun sebagaimana tercantum dalam visum No. 88/VER/U/2000.
“Apakah seperti ini wajah hukum di negeri sendiri, di mana seorang adik bisa menindas kakaknya menggunakan topeng hukum demi uang?” ujarnya dengan tegas.
Mintarsih kini berharap agar majelis hakim Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali dapat meninjau ulang seluruh kejanggalan perkara, tidak hanya dari sisi hukum formal, tetapi juga dari sisi keadilan moral dan kemanusiaan.
“Bayangkan jika putra-putri para hakim berada di posisi saya, harus menanggung beban denda ratusan miliar tanpa pernah menjadi pihak dalam perkara. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman mati,” kata Mintarsih.
Ia juga menyerukan agar media dan masyarakat sipil turut mengawal proses hukum ini, demi memastikan tidak ada lagi penyalahgunaan hukum dalam urusan korporasi yang berakar pada konflik internal keluarga.
“Selama kejanggalan hukum ini belum diperbaiki, tidak menutup kemungkinan akan muncul ‘putusan tambahan’ yang terus menambah beban pihak yang tidak bersalah. Keadilan seharusnya bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang benar,” tutup Mintarsih




































