BOGOR, suararealitas.co – Polemik dugaan pengurangan isi tabung gas LPG 12 kilogram di Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, kini semakin melebar dan dinilai kontroversial dengan munculnya temuan aktivitas ilegal berupa dugaan oplosan gas bersubsidi di wilayah Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/9/2025) kemarin.
Sebelumnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Tangerang melalui Pengawas Kemetrologian, Muchamad Muchamadun menegaskan, bahwa pengujian kuantitas isi tabung LPG hanya bisa dilakukan di tingkat SPBE, bukan di pengecer.
Namun, sorotan publik kini bertambah setelah sejumlah warga di Tangerang dan Bogor mengeluhkan tabung gas yang cepat habis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Rumpin, aktivitas oplosan gas bersubsidi diduga dilakukan secara terorganisir. Modus para pelaku terbilang klasik, yakni mengangkut tabung gas menggunakan mobil engkel kecil yang ditutup terpal biru.
Kendaraan semacam itu terlihat lalu-lalang di Jalan Raya Cisauk arah Rumpin pada malam hari, diduga sengaja untuk menghindari pantauan masyarakat maupun aparat penegak hukum (APH).
Sementara itu, Andi Nur Akbar, SH seorang praktisi hukum, mengecam lemahnya pengawasan.
“Kalau praktik oplosan gas bersubsidi dibiarkan, ini jelas merugikan rakyat kecil. Subsidi negara yang seharusnya membantu masyarakat justru disalahgunakan oleh oknum untuk meraih keuntungan pribadi. Aparat jangan tutup mata, harus ada penindakan tegas,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, bahwa suararealitas.co telah menemukan maupun mengkonfirmasi atas aktivitas mencurigakan tersebut kepada salah satu sopir mobil dengan nomor polisi B 9826 SA, sang sopir justru langsung menghubungi seseorang yang diduga bagian dari jaringan pengurus penyuntikan.
Tak berselang lama, beberapa orang datang dan mencoba membungkam wartawan suararealitas.co dengan tawaran uang.
“Kirim aja foto KTA-nya, Bang. Nanti kita kondisikan untuk bulanannya,” ujar salah satu pria kepada wartawan suararealitas.co secara terang-terangan menyebut adanya sistem ‘pengkondisian’, Rabu (6/8/25).
Disisi lain, Aktivis Jawa Barat, Rohendi dan Riandi Hartono, dengan tegas meminta Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan untuk tidak tinggal diam.
“Negara dirugikan, rakyat kecil jadi korban. Mafia ini harus diberantas. Tidak boleh ada toleransi untuk para pelaku, apalagi jika benar ada oknum aparat yang terlibat. Harus disikat sampai ke akarnya,” tegas Rohendi, Kamis (7/8).
Kendati demikian, Bima Laksono selaku pakar energi dan kebijakan publik menyebut, bahwa praktik penyuntikan gas subsidi ini sebagai bentuk kejahatan terorganisir yang sangat merusak sistem distribusi energi nasional.
“Penyalahgunaan elpiji subsidi seperti ini bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak sistem subsidi itu sendiri yang ditujukan bagi masyarakat miskin. Jika benar ada oknum aparat membekingi, maka ini sudah masuk ranah kejahatan terstruktur dan sistemik,” ujar Bima, seperti dikutip dari teropongrakyat.co, di Kabupaten Bogor.
“Negara perlu membentuk satuan tugas khusus lintas sektor, termasuk melibatkan Kementerian ESDM dan BPH Migas, untuk menindak tegas pelaku dan mengaudit distribusi elpiji bersubsidi di wilayah rawan penyimpangan,” tambahnya.
Adapun, praktik ilegal di Rumpin ini menjadi potret buram lemahnya pengawasan dan keberanian penegakan hukum di Jawa Barat.
Jika dibiarkan, bukan hanya uang negara yang terus menguap, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi negara akan terkikis.
Sudah saatnya Rumpin tidak lagi menjadi surga bagi para mafia gas bersubsidi. Penegakan hukum yang tegas, transparan, akuntabilitas, dan tidak pandang bulu menjadi kunci agar praktik ilegal ini benar-benar bisa dihentikan dalam pengelolaan energi bersubsidi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Publik pun menaruh harapan besar agar PT Pertamina bersama aparat penegak hukum segera turun tangan melakukan investigasi menyeluruh dalam distribusi LPG.
Sebagai informasi, praktik oplosan gas bersubsidi dapat dijerat dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 55 UU Migas menegaskan, penyalahgunaan pengangkutan atau niaga bahan bakar minyak dan gas bumi bersubsidi diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda hingga Rp 60 miliar.
Selain itu, tindakan ini juga berpotensi melanggar Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar serta membahayakan keselamatan masyarakat.
Hingga berita ini ditayangkan, aktivitas tersebut diduga belum tersentuh aparat, meski distribusi gas bersubsidi sejatinya sudah diatur ketat dan hanya diperuntukkan bagi masyarakat kecil serta usaha mikro.




































