KOTA TANGERANG, Suararealitas.co – Di sebuah ruang guru di salah satu SMA Negeri di Kota Tangerang, seorang pendidik duduk termenung. Ia baru saja menerima kabar bahwa anaknya yang mendaftar lewat jalur resmi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) tidak lolos alias terlempar
“Lucu ya. Saya setiap hari mendidik anak orang lain, tapi ketika anak saya sendiri ingin sekolah negeri, justru ditolak sistem,” katanya lirih.
Ia bukan satu-satunya. Tahun ini, cukup banyak anak dari kalangan guru, aktivis LSM, wartawan, hingga aparat penegak hukum (APH) yang gagal masuk lewat SPMB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan karena tak memenuhi syarat, tapi karena sistem yang kaku dan serba digital itu tak membuka ruang bagi nilai sosial dan pengabdian.
Sebagian guru mulai kecewa, bukan hanya sebagai orangtua, tapi sebagai bagian dari sistem yang selama ini mereka jaga.
Tak sedikit di antara mereka menyimpan dokumen, catatan, dan pertanyaan termasuk soal dugaan penyimpangan anggaran pendidikan. Dan kini, mereka mulai mempertimbangkan untuk bersuara.
Hilman Santosa, pemerhati tata kelola publik dan penggerak Poros Tangerang Solid, melihat ini sebagai persoalan serius.
“Yang kecewa bukan orang luar. Ini guru, aktivis, jurnalis, penegak hukum. Mereka punya jaringan, akses, dan pengetahuan. Kalau mereka bersatu, itu bisa menjadi bentuk perlawanan sosial yang tidak bisa dibungkam,” ujar Hilman kepada wartawan.
Hilman menilai, kekakuan sistem SPMB di era kepemimpinan Andra Soni pendidikan dibanten mulai kehilangan rasa. Jika para pengabdi pendidikan sendiri sudah tidak merasa dihargai, maka yang rusak bukan hanya keadilan, tapi juga legitimasi negara.
“Kalau anak guru saja tak diberi tempat, maka jangan heran jika ke depan tak ada lagi yang mau bertahan jadi guru,” sindirnya.
Sementara itu, Harsono Tunggal Putra, pengamat kebijakan publik, memilih melihat persoalan ini dari sisi yang lebih struktural.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan panitia atau sekolah. Ini masalah dari hulu sampai hilir,” kata Harsono.
Menurutnya, kebijakan pendidikan selama ini terlalu teknokratis dan tidak kontekstual.
Menurut dia banyak keputusan dibuat dari meja rapat, bukan dari ruang kelas. Sistem berjalan berdasarkan angka dan algoritma, tapi lupa bahwa pendidikan menyangkut harapan, rasa, dan pengabdian.
“Anggaran pendidikan disusun tanpa analisa kebutuhan yang mendalam. Proses seleksi terlalu administratif. Dan di lapangan, guru dibiarkan berjibaku sendiri. Wajar kalau akhirnya mereka merasa ditinggalkan,” jelasnya.
Harsono menegaskan, krisis kepala sekolah yang mulai dikhawatirkan hari ini hanyalah permukaan dari masalah yang lebih besar menurut dia adalah krisis kepercayaan terhadap arah pendidikan yang dikelola pemerintah provinsi Banten.
“Kalau hari ini para guru kecewa sebagai orangtua, maka esok mereka bisa kecewa sebagai pendidik. Dan kalau itu terjadi, sistem kita akan benar-benar runtuh,” pungkasnya.