Jakarta, Suararealitas.co – Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta menyoroti lemahnya kebijakan disinsentif fiskal dalam pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Isu tersebut dibahas secara mendalam dalam Webinar Nasional bertema “Disinsentif Fiskal Pengendalian Tembakau Indonesia: Purbaya Effect & Kontradiksi Arah Kebijakan Cukai Rokok” yang diselenggarakan pada Jumat (24/10/2025).
Topik ini dipilih untuk menyoroti tingginya tingkat konsumsi rokok yang menimbulkan beban ganda baik terhadap kesehatan masyarakat maupun stabilitas ekonomi nasional. Padahal, RPJMN 2025–2029 telah menegaskan perlunya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang signifikan, penerapan multi-year policy, dan penyederhanaan struktur tarif secara bertahap.
Namun, rencana tersebut tidak sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang sebelumnya menyebut tidak akan ada kenaikan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) pada 2026. Pernyataan itu memicu kritik publik karena kebijakan fiskal yang longgar justru dinilai dapat memperburuk prevalensi perokok, terutama di kalangan anak dan remaja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala CHED ITB Ahmad Dahlan, Roosita Meilani Dewi, menilai kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum konsisten dengan visi membangun sumber daya manusia unggul.
“Cukai seharusnya menjadi instrumen pengendalian konsumsi, bukan sekadar alat menambah pendapatan negara. Ketika kebijakan cukai ditahan, kesehatan masyarakatlah yang menanggung akibatnya,” tegas Roosita.
Menurutnya, fenomena yang disebut “Purbaya Effect” mencerminkan kontradiksi arah kebijakan pemerintah: di satu sisi memperkuat regulasi non-fiskal melalui PP Nomor 28 Tahun 2024 dan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, namun di sisi lain menahan kenaikan tarif cukai dengan alasan menjaga stabilitas industri. Ketidakkonsistenan ini dinilai melemahkan upaya pengendalian prevalensi perokok muda, yang meningkat tajam dari 2 juta (2013) menjadi 5,9 juta (2023).
Roosita menekankan bahwa untuk mencapai hasil kesehatan publik yang nyata, diperlukan sinergi kebijakan fiskal dan regulasi kesehatan melalui roadmap kenaikan cukai bertahap, penguatan penegakan hukum terhadap rokok ilegal, dan pemisahan proses kebijakan dari intervensi industri. “Kebijakan fiskal harus menjadi instrumen kesehatan publik, bukan sekadar alat pendapatan negara,” ujarnya.
Ketua Udayana Central Bali, dr. Putu Ayu Swandewi, memaparkan bahwa industri tembakau terus menggunakan berbagai strategi untuk menahan kebijakan fiskal yang ketat, antara lain melalui isu penyelundupan, ancaman terhadap lapangan kerja, hingga narasi anti-poor rhetoric.
Menurutnya, prevalensi merokok di Indonesia masih tertinggi di Asia Tenggara dan belum menunjukkan tren penurunan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Industri juga menerapkan taktik down-trading dan price smoothing agar produk tetap terjangkau, sehingga daya beli rokok tidak menurun.
“Selama rokok masih murah dan mudah diakses, terutama oleh remaja, maka kebijakan pengendalian tembakau akan selalu tertinggal,” ujarnya.
Dalam sesi akademik, peneliti CHED Diyah Hesti Kusumawardani memaparkan hasil kajian integrasi pengendalian tembakau terhadap program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Ia menjelaskan bahwa pengendalian tembakau harus dikaitkan dengan program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) melalui pendekatan fiskal dan promosi kesehatan terpadu.
“Kebijakan cukai seharusnya mendorong peralihan konsumsi rumah tangga dari rokok ke gizi dan kesehatan keluarga,” ujarnya.
Sementara itu, dari pihak Kementerian Keuangan, Analis Kebijakan Direktorat Strategi Perpajakan Sarno menjelaskan bahwa kebijakan CHT memiliki tujuan ganda untuk mengoptimalkan pendapatan negara dan mengendalikan konsumsi demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Ia menyebutkan bahwa kebijakan cukai yang diterapkan dalam lima tahun terakhir telah menurunkan prevalensi perokok dewasa dari 33,8% menjadi 29,7%, dan prevalensi perokok anak dari 9,1% menjadi 7,4%. Namun, upaya ini tetap memerlukan penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal serta perbaikan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) agar tepat sasaran.
Dari sisi kesehatan, dr. Anas Ma’ruf dari Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa pengendalian rokok merupakan bagian penting dari strategi nasional menuju Indonesia Emas 2045. Ia menyebut, konsumsi rokok menjadi penyebab utama tingginya pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 65% setiap tahun.
Mukhaer Pakkanna, Advisor CHED ITB Ahmad Dahlan, menyoroti pentingnya keberanian politik pemerintah dalam menegakkan keadilan fiskal. Ia menilai pernyataan pejabat publik yang menyebut kenaikan cukai sebagai “Firaun” merupakan bentuk kekeliruan konseptual.
“Kenaikan cukai rokok hingga 57% bukanlah tindakan Firaun, melainkan koreksi fiskal terhadap eksternalitas negatif rokok yang merusak kesehatan dan kemanusiaan,” tegas Mukhaer.
Menurutnya, justru dengan membiarkan harga rokok tetap murah, negara membiarkan kerusakan sosial dan ekonomi yang nilainya mencapai Rp596,61 triliun per tahun, jauh melampaui penerimaan negara dari cukai sebesar Rp216,9 triliun (2025).
“Masih ada waktu untuk menegakkan keadilan fiskal. Pemerintah harus berani melindungi rakyat, bukan tunduk pada kepentingan industri,” pungkasnya.
Melalui webinar ini, CHED ITB Ahmad Dahlan menegaskan bahwa kebijakan fiskal dan non-fiskal harus disinergikan dalam satu roadmap pengendalian tembakau yang komprehensif, dengan menempatkan kesehatan publik sebagai prioritas utama.
“Jika harga rokok tetap murah, maka kesehatan bangsa akan semakin mahal,” ujar Roosita menutup kegiatan.




































