Jakarta, Suararealitas.co — Koalisi Pembela Insan Musik Indonesia (KLaSIKA) resmi menyerahkan berkas kesimpulan sidang perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (15/8/2025). Gugatan ini menguji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (2), yang dinilai membatasi kebebasan berkarya musisi di Indonesia.
Gugatan tersebut diajukan atas nama enam insan musik, termasuk kelompok T’Koos Band, yang sehari-hari menghidupi diri dari panggung hiburan di kafe, restoran, dan ruang publik lainnya. Para pemohon menuntut penafsiran yang lebih adil terhadap ketentuan izin penggunaan lagu populer, agar tidak menimbulkan ketakutan dan pembatasan berlebihan bagi pelaku pertunjukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kuasa hukum KLaSIKA, David Surya, menegaskan perjuangan ini bukan hanya untuk artis terkenal, tetapi juga untuk ribuan musisi pekerja panggung yang kerap menerima honor minim.
“Banyak di antara mereka dibayar hanya Rp300 ribu per malam, berpindah dari satu kafe ke kafe lain untuk bertahan hidup. Mereka sering kali sudah membayar lisensi atau patuh pada prosedur, tapi masih berisiko dilarang tampil atau diminta royalti tambahan,” ujarnya.
David menilai, penafsiran sempit terhadap “izin” dalam Pasal 9 ayat (2) dan ancaman pidana dalam Pasal 113 ayat (2) dapat mengekang kebebasan berekspresi.
“Hak cipta memang melindungi pencipta, tapi harus diingat, ada fungsi sosial di dalamnya. Jangan hanya dilihat sebagai hak eksklusif ekonomi,” tegasnya.
Konsultan Kekayaan Intelektual, Marulam Juniasi Hutauruk, S.H., dalam keterangannya menggarisbawahi bahwa hak eksklusif pencipta tidak boleh dimaknai mutlak.
“Hak cipta harus mempertimbangkan keluhuran nilai budaya, fungsi sosial, dan ketersediaan yang cukup untuk masyarakat, seperti yang diajarkan John Locke,” jelasnya.
Sementara itu, pakar hukum Prof. Ahmad Ramli memperingatkan potensi munculnya gerakan anti-musik di ruang publik jika pembatasan terus diberlakukan secara ketat.
“Banyak karya yang tetap hidup justru karena dibawakan ulang. Kalau ini dibatasi terlalu keras, karya bisa cepat dilupakan,” ujarnya.
David menyebut, sidang kali ini menghadirkan suasana berbeda, Para hakim konstitusi dinilai terbuka, bahkan menyinggung pentingnya gotong royong dalam penerapan hak cipta agar tidak mematikan kreativitas.
Perwakilan T’Koos Band, Agoesta Marzal, menambahkan bahwa para musisi hanya ingin berkarya tanpa rasa khawatir.
“Larangan hanya perlu diberlakukan jika karya dibawakan secara merusak atau melecehkan. Kami ingin musik tetap hidup di ruang publik. Ini bukan hanya tentang kami, tapi juga hak masyarakat menikmati seni,” ujarnya.
Menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, KLaSIKA berharap putusan MK kelak menjadi “kado kemerdekaan” bagi dunia musik Indonesia.
“Bebaskan musik dari rasa takut. Itu hadiah kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan hanya untuk musisi, tapi juga penikmat seni di seluruh tanah air,” tutup David.
Perjuangan hukum ini dijalankan secara Swadaya dengan dukungan berbagai komunitas seni, akademisi, dan jaringan musisi di seluruh Indonesia. Putusan MK diharapkan menjadi tonggak baru dalam menyeimbangkan perlindungan hak pencipta dan hak publik untuk mengakses karya seni.




































