KOTA TANGERANG, Suararealitas.co – Malam turun perlahan di Cipondoh Indah, Kota Tangerang. Di tengah sunyi yang biasa menyelimuti kawasan padat penduduk ini, bau menyengat menyusup ke sela-sela rumah.
Tak terlihat jelas sumbernya, tapi warga tahu pasti aroma itu datang dari balik pagar Tempat Pengolahan Sampah TPS3R Mutiara Bangsa. Asap tipis naik, terkadang pekat. Mesin pembakaran diduga menyala. Tanpa peringatan. Tanpa penjelasan.
Di balik tembok TPS itu, A. Sobari—warga yang rumahnya hanya berjarak belasan meter menjadi saksi awal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Asapnya kemana-mana bau, rumah saya berdekatan dengan TPS, khawatir nantinya menimbulkan penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan),” ucapnya, lirih namun penuh tekanan Jumat (30/5/2025).
Sobari tak tinggal diam. Ia menghubungi Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang. Yang ia dapat? Sebuah janji. Evaluasi. Tidak lebih.
“Saya tanya teknisinya, nggak bisa bahasa Indonesia, saya nggak tahu mereka dari mana, kayaknya orang Korea. Tapi yang saya minta jelas: stop pembakaran di sini,” tegasnya.
Warga cemas, otoritas diam. Ini bukan hanya tentang pengelolaan sampah, tapi tentang hak dasar: udara bersih, udara aman. Dan dalam konteks inilah, kritik tajam datang dari Koordinator Poros Tangerang Solid (PORTAS), Hilman Santosa.
“Kita bicara soal potensi kelalaian yang berdampak pada keselamatan warga. Ini bukan hal sepele. Jika benar tidak ada kajian lingkungan, tidak ada uji emisi, dan tidak ada izin operasi, maka ini bisa masuk wilayah pelanggaran administratif, bahkan pidana,” ujar Hilman dalam keterangannya.
Hilman tidak menyebut nama langsung, tapi arah kritiknya jelas. Ia menyoroti posisi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Wawan Fauzi yang dalam laporan warga hanya menyampaikan komitmen ‘akan mengevaluasi’.
“Evaluasi itu kalimat normatif. Tapi ketika mesin sudah menyala, asap sudah terhirup, dan tidak ada transparansi, itu bukan lagi ranah evaluasi. Itu sudah masuk ranah akuntabilitas. Harus ada audit dan pertanggungjawaban,” katanya.
PORTAS, menurut Hilman, kini tengah menyiapkan dokumen pelaporan ke KLHK. Tujuannya menguji transparansi kebijakan lingkungan Pemkot dan membuka jalur hukum jika ditemukan dugaan pelanggaran.
“Kami tidak menuduh, tapi kami menduga telah terjadi praktik pengelolaan sampah yang menyimpang dari standar keselamatan dan hukum lingkungan. Dan jika itu terbukti, maka pejabat yang bertanggung jawab harus siap menghadapi proses hukum,” ucapnya.
Yang membuat situasi ini semakin ironis adalah kenyataan bahwa Pemkot Tangerang secara terbuka mengklaim komitmen pada program kesehatan Universal Health Coverage, klinik gratis, rumah sakit tanpa biaya. Tapi di sisi lain, warga harus menghirup udara yang diduga tercemar zat beracun dari pembakaran sampah.
“Ini kontradiktif. Program kesehatan jalan, tapi kualitas udara diabaikan. Apa gunanya BPJS gratis kalau anak-anak menghirup dioksin setiap malam?” tanya Hilman.
Kajian internal PORTAS menyebut, pembakaran sampah jenis organik dan plastik menghasilkan senyawa kimia seperti dioksin, furan, dan logam berat yang bersifat karsinogenik.
Paparan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan saraf, penyakit pernapasan, dan kanker.
“Kalau pemerintah bilang ini aman, mana buktinya? Mana hasil uji emisinya? Jangan main-main dengan kesehatan publik,” imbuh Hilman.
Lebih jauh, ia menyindir keras narasi “pengolahan sampah modern” yang sering dipromosikan dalam dokumen resmi Pemkot. “Modernisasi bukan sekadar beli alat mahal. Modern itu transparan, ilmiah, dan bertanggung jawab. bakar sampah dekat rumah warga tanpa kajian, itu bukan modern, itu sembrono,” tutupnya.




































