Jakarta,Suararealitas.co – Laporan terbaru dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
mengungkap bahwa Total Economic Value (TEV) hutan Kabupaten Morowali mencapai Rp
2,81 triliun per tahun—atau 44,61% lebih tinggi dari realisasi Pendapatan Pemerintah
Kabupaten Morowali tahun 2023 sebesar Rp 1,94 triliun.
Namun, sekitar Rp 1,07 triliun per tahun dari nilai tersebut sudah berada dalam wilayah
konsesi tambang dan terancam hilang. Jika ekspansi tambang terus dilakukan, potensi kerugian ekonomi dapat bertambah hingga Rp 568 miliar per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan ini disusun dengan pendekatan valuasi total ekonomi yang mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Termasuk di dalamnya, manfaat langsung, tidak langsung, nilai keberadaan,
pilihan dan warisan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan data SDA Hutan dan perizinan pertambangan
nikel periode 2023-2025 dari dokumen dan publikasi instansi resmi. Penilaian spasialnya
diukur menggunakan software Arcgis dengan teknik tumpang tindih (overlay), sementara nilai
ekonominya dihitung menggunakan metode pendekatan pasar dan metode biaya pengganti
(benefit transfer) untuk melakukan penilaian manfaat hutan yang tidak tersedia di pasar.
Kabupaten Morowali merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah,
terutama karena keberadaan pusat industri nikel seperti Indonesia Morowali Industrial Park
(IMIP) dan Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP). Namun, di balik pertumbuhan pesat itu,
tekanan terhadap ekosistem hutan terus meningkat. Padahal, kawasan hutan Morowali tidak hanya menjadi penyangga lingkungan lokal, tetapi juga memiliki peran penting dalam
menyerap karbon dan menjaga keseimbangan ekologis.
“Sulawesi adalah wilayah strategis yang menyimpan cadangan nikel besar, tetapi juga
merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang paling kaya. Ketidakseimbangan
antara eksploitasi dan perlindungan hutan akan berujung pada kerugian jangka panjang baik
Halaman 1/4 secara ekologis maupun ekonomi,
” ujar Risky Saputra, peneliti AEER dalam peluncuran laporan di Hotel Morrissey Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juli 2025.
Temuan ini menjadi sangat relevan menjelang pengajuan Second Nationally
Determined Contribution (SNDC) Indonesia ke UNFCCC dalam Konferensi Iklim COP 30 pada
November 2025. Sebagai dokumen resmi komitmen iklim nasional, SNDC akan menetapkan
kontribusi sektor kehutanan terhadap pencapaian FoLU (Forestry and Other Land Use)
Net-Sink 2030 yaitu target serapan 140 juta ton emisi setara karbondioksida (CO₂e) pada
tahun 2030.
Hutan Morowali sendiri menyerap lebih dari 1,1 juta ton emisi karbon (CO₂e) per tahun
dan menjadikannya aset dalam strategi mitigasi nasional. Namun, sepanjang 2019-2023,
aktivitas pertambangan nikel nasional telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas
37.660 hektare yang setara dengan emisi 28,7 juta ton emisi karbon. Dari luas deforestasi
tersebut, sekitar 16% atau 6.110 hektare di antaranya, terjadi di pertambangan yang berada di Morowali.
Saat ini, 35% wilayah Morowali atau 157.935 hektare telah dikonversi menjadi konsesi
tambang nikel untuk 70 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 133.256 hektare merupakan kawasan hutan dan 97.790 hektare berada di hutan primer yang seharusnya dilindungi.
“Tanpa intervensi kebijakan yang kuat, tekanan industri nikel akan mempercepat deforestasi dan mengancam pencapaian target iklim serta keanekaragaman hayati nasional,” ujar Meity Ferdiana Pakual, peneliti dari Universitas Tadulako. “Valuasi ekonomi ini memberikan
landasan kuat untuk moratorium izin baru di hutan primer dan kawasan bernilai
keanekaragaman hayati tinggi.
” Morowali merupakan kawasan yang kaya dengan spesies endemik antara lain burung
Maleo (Macrocephalon maleo) yang kini berstatus Critically Endangered (CR), burung
Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan Monyet Butung (Macaca ochreata). Ini belum
termasuk puluhan flora dan fauna lain yang tercatat dalam basis data Global Biodiversity
Information Facility (GBIF).
Dalam diskusi peluncuran laporan, Akhmad Fauzi, Guru Besar Ekonomi Sumber Daya
Alam dan Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor menekankan pentingnya perubahan
paradigma tentang sumber daya alam—bukan sebagai faktor produksi melainkan sebagai
modal alam (natural capital).
“Sehingga jika hutan ditebang, tanpa ada penguatan nilai tambahnya, aset kita mengalami
depresiasi yang luar biasa,” kata Akhmad.
Laporan ini, kata dia, membuktikan bahwa nilai
APBD Morowali tak sebesar aset berupa sumber daya alamnya.
Akhmad juga mendorong pembentukan resource fund, yaitu dana yang dialokasikan
dari pemanfaatan sumber daya alam untuk memperkuat nilai aset tersebut, baik melalui
pertanian, wisata, maupun untuk jasa lingkungan.
Dari sisi perencanaan pembangunan daerah, Subhan Basir, Kepala Bidang Infrastruktur
dan Kewilayahan Bappeda Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029 sedang dalam tahap akhir penyusunan.
“Masukan dari laporan ini akan kami sampaikan ke pimpinan,” katanya.
Dalam laporan ini, AEER merekomendasikan: Pertama, penghentian izin baru di hutan
primer dan kawasan bernilai keanekaragaman tinggi, disertai evaluasi menyeluruh terhadap
izin-izin yang telah terbit, hingga peta jalan Global Biodiversity Framework terimplementasi.
Kedua, Integrasi potensi keuangan dari perlindungan ekosistem ke dalam perencanaan pembangunan daerah dan nasional (RPJMD, RPJMN, dan SNDC) guna menyeimbangkan penerimaan sektor nikel dengan biaya ekologis.
Ketiga, potensi pendanaan dari kegiatan restorasi lingkungan (result-based finance) agar hutan Morowali dapat memainkan peran sentral dalam pencapaian FoLU Net-Sink 2030.
Laporan ini menegaskan bahwa pengabaian terhadap nilai ekologis Morowali akan
melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi iklim internasional dan memperbesar beban
mitigasi nasional.