TANGERANG, suararealitas.co – Program SPMB yang diklaim sebagai solusi pendidikan gratis bagi keluarga tak mampu di Banten perlahan menelanjangi ironi kebijakan publik: tampak mulia di atas kertas, namun terkesan cacat dalam pelaksanaan.
Gubernur Banten bersama Sekda dan Plt Kadis Pendidikan melakukan inspeksi mendadak ke sebuah sekolah swasta peserta program.
Sekolah itu bersih, catnya baru, dan fasilitasnya lengkap. Kamera merekam dengan sempurna. Sekda Banten, Deden Apriandhi, bahkan menyampaikan keyakinannya kepada publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Melihat fasilitas dan kondisi sekolah, jangan ada keraguan dari orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya di sini,” ujarnya percaya diri.
Namun realitas yang ditemui warga jauh berbeda, di Kota Tangerang, Sarah Rosanti mendatangi langsung sekolah tempat anaknya ditempatkan melalui SPMB. Ia mengaku terkejut. Ruangan sempit. Rak buku kosong. Tidak ada laboratorium. Akreditasi sekolah bahkan hanya C.
“Bangunannya sempit, ruangannya pengap. Gak ada lab, komputer juga nggak ada, rak buku cuma satu, itu pun kosong, apa itu SPMB Sistem Pembohongan Massal Banten?” keluhnya.
Sarah menyebut sekolah yang dikunjungi Gubernur sebagai “etalase” dipoles untuk pencitraan, bukan representasi kondisi sebenarnya.
Yang membuatnya lebih kecewa adalah ingatannya terhadap kampanye sang gubernur.
“Dulu waktu kampanye, saya dengar sendiri. Andra Soni cerita pernah jadi kuli bangunan, anak miskin, makan cuma pakai garam. Saya percaya dia bakal ngerti nasib kami,” ucapnya.
“Tapi sekarang? Kok malah kami, rakyat miskin ini, justru dikirim ke sekolah kayak gini?” katanya lirih.
Ia mengaku kecewa berat. Bahkan tak ragu menyatakan penyesalannya. “Kalau tahu begini, saya nggak akan pilih dia. Saya nyesel pilih Andra Soni,” ungkap Sarah.
Sarah juga mengkritik gaya kepemimpinan Andra Soni yang menurutnya lebih mementingkan citra daripada kerja nyata.
“Ngaku pernah miskin, tapi sekarang malah lupa. Sibuk tampil di media, tapi nggak ngelihat anak-anak kami belajar di bangunan yang gak layak,” tegasnya.
Ia pun mempertanyakan ke mana arah keberpihakan Gubernur selama ini.
“Kalau memang niat bantu rakyat, kenapa sekolahnya gak dicek yang disini nih di Ciledug Deket banget ma rumah dia? Kenapa yang ini disembunyiin? Ini bukan solusi, ini tipu-tipu,” katanya.
Kemarahan Sarah tak hanya tertuju pada eksekutif. Ia juga menyayangkan sikap DPRD yang dinilainya hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah.
“Dewan yang mestinya jadi wakil rakyat, malah mesra sama eksekutif. Gak ada yang bela kami. Cuma ikut main narasi. Diam semua.”
Penelusuran di lapangan menguatkan keluhan Sarah, beberapa sekolah swasta di Ciledug, Karang Tengah, dan Larangan diketahui minim fasilitas, kekurangan guru, dan dibilangan Karawaci terdapat sekolah megah namun dalam proses sengketa. Namun sekolah-sekolah ini tetap dilibatkan dalam program SPMB Bersama.
Ketua Komisi V DPRD Banten, Yeremia Mendrofa, mengakui bahwa perluasan akses pendidikan penting. Namun, menurutnya, peningkatan kualitas justru lebih mendesak.
“Daripada hanya fokus pada peningkatan daya tampung dan akses,” katanya, “yang juga harus ditekankan adalah bagaimana peningkatan mutu pendidikan kita di Provinsi Banten.”
Menurut politisi PDIP ini, lulusan SMA dan SMK harus punya daya saing agar terserap di dunia kerja dan perguruan tinggi. Ia menegaskan pentingnya keterhubungan antara sekolah dan kebutuhan industri.
“Link and match itu harus terus diaktualisasikan dalam sistem pendidikan kita,” pungkasnya.
Namun bagi Sarah, semua itu tinggal jargon. Ia tidak melihat satu pun bentuk perlindungan negara atas hak anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Ia tak ingin pencitraan menggantikan keadilan.
“Pemimpin yang katanya pernah miskin,” katanya, “sekarang malah lupa caranya berpihak. Omongannya tinggal legenda, yang tertinggal hanya luka.” Tutup Sarah.