Jakarta, Suararealitas.co – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menjadi topik hangat dalam seminar nasional bertajuk “RKUHAP: Langkah Strategis Menuju Kedaulatan Hukum Nasional” yang diselenggarakan oleh Yerikho Manurung & Partners bersama Indonesia Millennials Center (IMC), Rabu (30/7/2025) di Jakarta.
Acara ini mempertemukan para akademisi, praktisi hukum, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil dalam satu forum untuk membedah secara kritis arah pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP yang berlaku saat ini, yang disahkan pada tahun 1981, dinilai sudah tidak lagi relevan dengan dinamika hukum modern dan tuntutan perlindungan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad, menegaskan bahwa sistem hukum tidak boleh hanya dibangun atas dasar teks dan norma yang kaku, tetapi harus berorientasi pada keadilan substantif yang berpihak pada masyarakat.
“Hukum itu harus membela yang benar, bukan yang benar-benar bisa membayar. Jika sistem dan pelaku penegak hukum tidak berubah, maka hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan,” ujar Suparji.
Ia juga menyoroti sejumlah pasal krusial dalam RKUHAP seperti ketentuan tentang penahanan, penyitaan, dan penyadapan, yang menurutnya masih menyimpan celah penyalahgunaan karena lemahnya mekanisme kontrol dan akuntabilitas antar lembaga penegak hukum.
Lebih lanjut, Suparji menekankan pentingnya revisi KUHAP untuk memperkuat posisi tersangka dan terdakwa dalam proses hukum melalui kontrol pengadilan yang lebih kuat. “Penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan semestinya tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa ada pengawasan yudisial,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IMC, Yerikho Manurung, menyampaikan kritik tajam terhadap kurangnya keterlibatan publik dalam proses pembahasan RKUHAP yang saat ini tengah berlangsung di DPR RI. Ia menilai, pembaruan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kerangka besar demokrasi partisipatif yang mengutamakan hak warga negara.
“Sebagai generasi muda, kita tidak boleh pasif. Kita harus membangun sistem kontrol terhadap kekuasaan agar kebijakan hukum tidak hanya berpihak pada elite negara, tetapi benar-benar melindungi kepentingan rakyat,” kata Yerikho.
Ia juga menambahkan bahwa partisipasi aktif masyarakat, khususnya generasi milenial, adalah bentuk nyata dari peran publik dalam menjaga agar legislasi tidak melenceng dari prinsip hak asasi manusia dan konstitusi.
Advokat senior Saor Siagian, S.H., M.H., menyoroti absennya representasi masyarakat sipil dalam tim ahli penyusun RKUHAP. Menurutnya, keputusan-keputusan fundamental terkait nasib rakyat justru dibuat di ruang tertutup oleh elite negara tanpa suara dari akar rumput.
“Yang dibahas adalah hak rakyat, tapi tidak ada satu pun perwakilan rakyat di meja perumus. Semua dilakukan dengan dana rakyat, tapi suara mereka diabaikan. Ini paradoks,” kritik Saor.
Ia kemudian menceritakan kasus seorang petugas outsourcing penjaga ATM yang menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil akibat prosedur yang tumpang tindih. Kasus itu menjadi bukti konkret bahwa sistem hukum yang timpang justru melukai rakyat kecil yang lemah secara ekonomi dan akses keadilan.
Akademisi Universitas Trisakti, Dr. Azmi Syahputra, turut mengingatkan bahwa proses legislasi RKUHAP sudah berjalan terlalu lama namun belum menyentuh substansi. Ia menyebut telah terjadi lebih dari 18 forum sosialisasi sejak akhir 2024, namun hingga kini belum ada langkah konkret menyelesaikan ketimpangan pasal-pasal bermasalah.
“Jangan hanya sibuk terkoneksi dalam diskusi, tapi tidak siap dikoreksi. Reformasi hukum bukan soal memperindah kalimat pasal, tapi memperbaiki substansi dan dampaknya terhadap masyarakat,” tegas Azmi.
Ia juga mengkritik praktik penegakan hukum yang ia istilahkan sebagai “penangkapan-persampahan” yaitu penangkapan yang dilakukan secara serampangan, tanpa bukti kuat, dan kerap kali menarget masyarakat kecil yang tak berdaya.
Dari seluruh rangkaian diskusi, forum ini menegaskan bahwa revisi KUHAP bukan sekadar kebutuhan teknokratis, melainkan bagian dari perjuangan kolektif untuk menciptakan sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.