JAKARTA, suararealitas.co – Dugaan malpraktik medis selalu menjadi topik sensitif yang mengguncang dunia kesehatan.
Setiap kali isu ini muncul ke permukaan, gelombang ketidakpercayaan publik terhadap layanan kesehatan seringkali ikut menguat.
Rumah sakit jadi sorotan, tenaga medis dituding lalai, dan masyarakat larut dalam emosi yang bercampur antara duka dan amarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi, apakah setiap insiden medis yang berujung kematian otomatis dapat disebut malpraktik? Ataukah ada ruang untuk mengelola konflik ini secara lebih bijak dan konstruktif?.
Dalam banyak kasus, kemarahan masyarakat tidak semata karena kesalahan medis, melainkan karena kurangnya komunikasi terbuka dan kejelasan informasi dari pihak rumah sakit.
Di tengah kondisi krisis, keluarga membutuhkan empati, bukan sekadar prosedur. Mereka butuh penjelasan, bukan diam.
Di sinilah banyak institusi kesehatan gagal mereka ahli dalam teknis medis, namun tertatih dalam urusan komunikasi krisis.
Konflik antara pasien dan penyedia layanan bukanlah hal baru. Namun penting untuk membedakan antara konflik yang destruktif dan konflik yang fungsional.
Konflik yang fungsional justru bisa menjadi momentum untuk introspeksi dan reformasi internal.
Ini hanya bisa terjadi bila ada niat baik, transparansi, dan keberanian untuk mengakui bahwa sistem yang ada belum tentu sempurna.
Langkah seperti audit medis internal, klarifikasi terbuka kepada media, dan pendekatan kekeluargaan kepada keluarga pasien adalah bentuk tanggung jawab profesional yang perlu diapresiasi.
Tapi lebih dari itu, rumah sakit harus mulai memikirkan pembentukan crisis communication team, memperkuat sistem komplain, serta menyediakan pendampingan bagi keluarga pasien dalam masa-masa kritis. Ini bukan soal citra, tapi soal etika.
Tidak kalah penting, masyarakat juga perlu diedukasi. Dunia medis bukan dunia tanpa risiko. Tidak semua kematian berarti kelalaian. Ada batas kemampuan ilmu, dan ada keterbatasan manusia dalam memahami kompleksitas kondisi pasien.
Untuk itu, literasi kesehatan publik perlu terus ditingkatkan agar persepsi terhadap layanan kesehatan menjadi lebih adil dan proporsional.
Sudah saatnya kita memandang konflik dalam layanan medis bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang.
Peluang untuk memperbaiki sistem. Peluang untuk membangun kembali kepercayaan. Peluang untuk menjadikan layanan kesehatan kita bukan hanya profesional secara klinis, tetapi juga manusiawi secara etika.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya rumah sakit yang canggih, tapi rumah sakit yang hadir secara utuh dengan hati, dengan empati, dan dengan komitmen untuk terus belajar dari setiap peristiwa.
Penulis : Rosdiana
Editor : Za
Sumber Berita: Mahasiswa S3 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS