Jakarta, Suararealitas.co – Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), KH Muhammad Irfan Hasyim, menegaskan komitmen lembaganya untuk mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang profesional, transparan, dan akuntabel, menyongsong era baru tata kelola haji nasional yang lebih modern.
Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Prospek Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasca Pembentukan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji): Menuju Pengelolaan Haji yang Lebih Profesional”, yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (30/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seminar ini menghadirkan berbagai narasumber dari Kementerian Agama, BPKH, MUI, AMPURI, akademisi, dan asosiasi penyelenggara haji, serta lembaga pendidikan tinggi keagamaan dan kedokteran.
Pembentukan BP Haji merupakan bagian dari reformasi menyeluruh sektor haji yang menjadi salah satu agenda prioritas Presiden Prabowo Subianto. Lembaga ini resmi dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2025, dan saat ini berada dalam masa transisi di bawah koordinasi Kementerian Agama.
“Kami ingin penyelenggaraan haji bukan hanya menjadi urusan administratif dan ritual semata, tetapi menjadi cerminan kemajuan peradaban umat dan kontribusi ekonomi nasional,” ujar KH Irfan Hasyim.
Untuk mendukung pelaksanaannya, BP Haji telah menyiapkan struktur organisasi hingga tingkat kabupaten/kota, mengoptimalkan pemanfaatan asrama haji dan pusat layanan terpadu, serta menyelesaikan SOP dan alih personel dari kementerian terkait.
Proses revisi Undang-Undang Haji dan Umrah kini telah masuk sebagai RUU inisiatif DPR RI dan ditargetkan rampung pada Agustus 2025. BP Haji juga tengah mencermati dinamika kebijakan haji di Arab Saudi, yang kini fokus pada Saudi Vision 2030, dengan target kenaikan jumlah jamaah haji dan umrah secara signifikan.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Prof. Dr. H. Hilman Latief, MA, Ph.D, menegaskan pentingnya kompatibilitas regulasi Indonesia dengan kebijakan Saudi, karena penyelenggaraan haji berlangsung lintas negara. Ia juga mengingatkan bahwa transformasi layanan harus adaptif terhadap perubahan teknologi, pola perjalanan, serta ekspektasi jamaah yang semakin tinggi.
Tingginya angka kematian jamaah pada musim haji 2025 menjadi perhatian utama. BP Haji mengusulkan agar pemeriksaan kesehatan dilakukan satu tahun sebelum keberangkatan untuk memastikan kesiapan fisik jamaah dan penyesuaian logistik lebih awal.
Selain itu, sedang dijajaki kerja sama dengan rumah sakit di Arab Saudi, termasuk pengembangan sistem klinik berbahasa Indonesia yang dapat mempermudah komunikasi dan pelayanan darurat. Rektor Universitas YARSI, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, menyatakan kesiapan kampusnya untuk berkolaborasi:
“Kami siap membantu penyiapan jamaah dari sisi kesehatan, termasuk pendekatan berbasis lansia, manajemen krisis darurat, hingga pelatihan psikososial. Ini juga jadi bagian pembelajaran penting bagi mahasiswa kedokteran dan psikologi kami,” ujarnya.
YARSI juga mendorong keterlibatan perguruan tinggi lain, termasuk UIN, IAIN, UNISBA, dan UII, yang telah banyak melakukan riset dan pengabdian terkait pelayanan haji. Menurut Prof. Fasli, pesan edukasi kepada jamaah tidak harus rumit, tetapi harus jelas dan mudah dipahami, terutama dalam situasi darurat seperti tersesat atau ketinggalan rombongan.
Sebagai bagian dari visi Presiden, BP Haji turut mengembangkan ekosistem ekonomi haji nasional. Saat ini, telah dijalin kerja sama dengan IPB University dan pelaku UMKM untuk memasok produk-produk halal Indonesia ke Arab Saudi, mulai dari bumbu, ikan, hingga makanan olahan.
Namun tantangan masih ada, terutama dalam hal regulasi ekspor. BP Haji mendorong penyelarasan kebijakan antar kementerian agar produk-produk lokal dapat bersaing dan menembus pasar haji global.
Prof. Fasli Jalal menambahkan, potensi ekonomi haji dapat digerakkan dari desa, “Kalau 2 juta orang umrah tiap tahun dan biaya haji mencapai Rp42 triliun, bayangkan dampaknya kalau UKM desa bisa menyuplai keperluan jamaah dengan standar dan harga yang tepat. Ini bisa menumbuhkan ekonomi lokal dan menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.
BP Haji juga menyoroti tingginya jumlah antrean haji yang telah menembus 5,5 juta pendaftar. Di sejumlah daerah, masa tunggu mencapai 48 tahun, menjadi tantangan besar dalam keadilan akses. Karena itu, lembaga ini menekankan pentingnya efisiensi kuota, transparansi data, dan reformasi menyeluruh dalam sistem pendaftaran dan distribusi.
Seminar ini menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah, akademisi, asosiasi penyelenggara, dan masyarakat sipil sangat diperlukan dalam mengelola ibadah haji yang modern, manusiawi, dan berkelanjutan. BP Haji membuka pintu bagi kontribusi luas dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk universitas dan asosiasi profesi.
Dengan semangat integritas, inovasi, dan keberpihakan pada jamaah, penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia diarahkan tidak hanya sebagai kewajiban agama, tetapi sebagai bagian dari agenda nasional untuk pemberdayaan umat dan penguatan ekonomi bangsa.