TANGERANG, Suararealitas.co – Diterapkannya sistem Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Banten menjadi titik awal reformasi dalam proses penerimaan siswa.
Sistem ini diklaim sebagai langkah penataan agar penerimaan peserta didik lebih akuntabel dan terukur.
Namun, pasca-SPMB, sejumlah pihak justru mendorong agar aparat penegak hukum kembali melanjutkan proses dugaan pelanggaran yang sebelumnya menyeret beberapa kepala sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aktivis sekaligus Penggiat Sosial Yan Sandi menyebut tak ada lagi alasan bagi aparat hukum untuk menunda-nunda penanganan. Menurutnya, dengan kepala sekolah kini dipaksa berjalan sesuai sistem yang ketat, penegak hukum pun semestinya konsisten dan adil.
“Kalau semua sudah ditegakkan dengan sistem, semua pihak juga harus ikut tegak lurus. Jangan ada kesan pilih-pilih atau tarik-ulur proses hukum,” ujarnya, Selasa (02/07/2025).
Yan menyinggung adanya salah satu kasus di tingkat SMA negeri di Tangerang yang sempat ditangani aparat namun hingga kini tak jelas penyelesaiannya.
Ia menduga adanya pertimbangan nonhukum yang membuat perkara tersebut tidak kunjung tuntas.
“Selama ini proses hukum kadang terhambat karena alasan klasik: enggak enakan. Ini jadi budaya yang justru merusak sistem,” katanya.
Di sisi lain, dalam praktiknya, sejumlah kepala sekolah rentan untuk dijebloskan ke penjara, sebagai contoh kecil dari penyalahgunaan wewenang kepala sekolah adalah disebut sering kali terpaksa menggunakan dana sekolah untuk menutupi pengeluaran non-teknis yang tidak tercatat dalam struktur anggaran resmi.
Beberapa sumber menyebut, pengeluaran tersebut kerap berbentuk pemberian transportasi kepada oknum dari lembaga swadaya masyarakat, oknum wartawan, atau bahkan ‘uang bensin’ untuk tamu-tamu dari instansi tertentu.
“Yang seperti ini kan enggak mungkin ditulis di laporan. Tapi realitanya ada. Dan tidak sedikit kepala sekolah yang terjebak harus mengambil dari dana BOS,” ungkap seorang sumber yang memahami dinamika sekolah.
Menurutnya, bila dikalkulasi dalam skala tahunan dan lintas sekolah, nominal penggunaan dana non-teknis ini bisa mencapai angka yang tidak kecil.
Pengamat pendidikan Harsono Tunggal Putra mengakui bahwa kondisi ini menempatkan kepala sekolah dalam posisi dilematis.
Ia menyebut kepala sekolah kerap menjadi sasaran ketika aparat melakukan pemeriksaan, namun akar masalah strukturalnya jarang disentuh.
“Kepala sekolah itu dituntut jadi pemimpin, manajer, sekaligus pelayan. Tapi tidak diberi perlindungan dari tekanan informal. Mereka rentan dijadikan kambing hitam,” katanya.
Harsono menyebut, jika penegakan hukum dilakukan secara masif tanpa disertai pembenahan sistem dan perlindungan kelembagaan, bukan tidak mungkin akan terjadi kekosongan jabatan kepala sekolah dalam jumlah besar.
“Kalau semuanya ditindak tanpa persiapan, bisa chaos. Tapi ini bukan berarti dibiarkan. Justru pemerintah harus memastikan bahwa kepala sekolah tidak lagi dijadikan ATM oleh pihak luar,” ujarnya.
Ia menduga praktik permintaan uang oleh oknum luar sekolah masih terus berlangsung hingga kini, meski tidak pernah muncul dalam laporan resmi.
“Kalau mau bersih, jangan setengah-setengah. Proses hukum harus jalan, tapi pelindung sistemnya juga harus diperkuat. Termasuk menyentuh siapa saja yang selama ini ikut menikmati dana pendidikan tanpa kewenangan,” tegasnya.
Harsono menyatakan, penegakan hukum terhadap dugaan penyimpangan kepala sekolah pasca-SPMB hanya akan efektif jika dibarengi dengan keberanian menyentuh seluruh aktor yang bermain di balik layar.
“Kalau kepala sekolah saja diminta tegak lurus, maka semua pihak termasuk aparat penegak hukum, dinas, hingga oknum eksternal harus ikut lurus. Keberanian membongkar sistem yang sudah terlalu lama nyaman dalam kelenggangan,” tutup Harsono.