KOTA TANGERANG, Suararealitas.co – Di Kota provinsi Banten, pelaksanaan SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru) tak hanya menjadi agenda rutin pendidikan, tapi juga medan penuh tekanan bagi para kepala SMA dan SMK Negeri.
Di satu sisi, jabatan mereka dipertaruhkan jika tak patuh pada instruksi atau gagal mengelola gejolak.
Di sisi lain, mereka harus menjaga relasi dengan “rekanan” mulai dari lingkungan sekitar sekolah, oknum legislatif, oknum LSM, oknum aparat penegak hukum, hingga kalangan oknum jurnalis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Distribusi bangku sekolah tak sepenuhnya ditentukan oleh zonasi atau capaian akademik. Ada kepentingan informal yang menyusup dalam bentuk titipan, intervensi, bahkan tekanan halus yang terus membayangi.
Salah seorang kepala SMA Negeri di Kota Tangerang mengakui tekanan itu datang dari berbagai arah.
“Kami berusaha menjaga agar prosesnya tetap sesuai aturan. Tapi tekanan itu nyata dari tokoh masyarakat, oknum LSM, bahkan ada juga yang mengatasnamakan media. dan oknum APH Kalau kita terlalu kaku, bisa-bisa jabatan ikut digoyang. Tapi kalau terlalu longgar, integritas taruhannya,” ujarnya.
Kekhawatiran lainnya adalah berubahnya posisi “rekanan” menjadi “lawan” hanya karena anak kandung mereka tidak diterima.
“Kita paham betul, namanya orangtua pasti ingin memperjuangkan anaknya. Dan sebagian besar yang minta tolong itu ya bener anak kandungnya sendiri. Tapi kalau enggak masuk, ya bisa berubah sikap. Hari ini mitra, besok jadi Kontra,” tambahnya.
Yang lebih meresahkan adalah potensi kriminalisasi administratif.
“Kesalahan teknis sedikit saja bisa dijadikan alasan untuk menjatuhkan kami. Seolah-olah dicari-cari celah agar kami tersandung. Di kondisi sekarang, kepala sekolah kentut saja bisa-bisa jadi persoalan. Kalau ada yang mau main framing, bisa viral, bisa dilaporkan, bisa dipanggil,” tuturnya getir.
Kekecewaan juga datang dari luar. Seorang jurnalis lokal berinisial Y yang juga orangtua siswa mengaku kecewa karena anaknya tak dibantu masuk sekolah negeri.
“Saya udah bantu sekolah ini banyak hal. Tapi sekarang saya enggak dibantu, saya anggap ini pengkhianatan. Ke depan, saya akan berdiri sebagai oposisi. Semua kebijakan sekolah akan saya kritisi habis-habisan,” tegasnya.
Situasi makin rumit ketika beredar kabar bahwa seorang legislator dicopot dari posisi pimpinan alat kelengkapan dewan. Pemicunya: ia dianggap terlalu jauh membantu konstituen dalam urusan sekolah.
“Kalau benar itu sebabnya, ya bayangkan saja dampaknya. Pasti ada luka. Dan luka di dunia politik biasanya berbalas, bukan diredakan. Ini yang bikin suasana SPMB makin penuh tekanan diam-diam,” kata salah satu sumber di DPRD Banten.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Kota Tangerang, salahseorang seorang kepala SMA Negeri di Tangerang Selatan menyebut tekanan saat PPDB sudah jadi hal tahunan.
“Kami terbiasa menghadapi permintaan-permintaan itu. Tapi tetap saja beban mentalnya besar. Kita dipaksa jadi diplomat, pemadam kebakaran, dan penanggung jawab penuh. Padahal enggak semua bisa kita bantu,” ujarnya.
Senada, kepala SMK Negeri di Kabupaten Tangerang memilih diam saat musim penerimaan siswa baru.
“Jujur, kami lebih banyak diam. Terlalu vokal nanti dibilang melawan. Terlalu nurut, nanti dibilang main belakang. Bingung. Mau fokus urus mutu sekolah, tapi terus diganggu urusan luar kelas,” katanya.