KOTA TANGERANG, Suararealitas.co — Pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 di Provinsi Banten kembali menyisakan cerita penuh tanda tanya. Ary Arsa, wartawan senior, menjadi salah satu orang tua yang angkat bicara setelah putranya gagal diterima di SMAN 10 Tangerang meski jarak rumah hanya 666 meter dan nilai rapor mencapai 82.36
Saat Ary mencoba mencari tahu langsung ke sekolah, ia diberitahu bahwa di sistem tertulis “NISN tidak sesuai.” Namun setelah mendesak klarifikasi, alasan itu berubah. Kali ini pihak sekolah menyatakan bahwa anaknya tereliminasi karena kalah saing.
“Awalnya di sistem jelas tertulis NISN tidak cocok. Tapi setelah saya datangi langsung, alasan itu hilang, diganti dengan: ‘kalah saing’. Saya tanya, saingnya di mana? Rumah saya cuma 666 meter, nilainya juga 8 koma Kalau sistem seperti ini yang dipakai, jangan salahkan orang tua kalau curiga,” kata Ary.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pihak sekolah kemudian menyarankan Ary untuk mencabut berkas dan mencoba jalur prestasi akademik. Ia menolak. Menurutnya, jalur domisili justru yang paling layak, dan jalur prestasi bukan tempat pelarian dari sistem yang tidak jujur.
Ketika desakan soal transparansi semakin nyaring, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Lukman, dalam sebuah podcast di Jawa Pos TV menyatakan bahwa sistem SPMB tahun ini “sudah transparan”, namun akses data hanya diberikan kepada siswa dan orang tua masing-masing. Ia menyebut pembatasan itu sebagai langkah protektif untuk tidak disalahgunakan.
Pernyataan tersebut langsung dikritik oleh Mohamad Harsono Tunggal Putra, aktivis sekaligus penggiat sosial yang selama ini konsisten mengawal isu-isu keadilan pendidikan dan pelayanan publik di Banten.
“Pernyataan bahwa sistemnya transparan tapi datanya tak bisa dilihat publik itu kontradiktif dan menyesatkan. Ini bukan soal privasi, ini soal akuntabilitas layanan negara. Sekolah negeri dibiayai pajak rakyat, maka publik berhak tahu siapa yang lolos dan dengan kriteria apa,” tegas Harsono.
Menurutnya, sistem SPMB justru berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan terselubung, jika publik tidak diberi akses untuk memverifikasi kebenaran hasil seleksi. Ia juga menyoroti praktik “penghilangan alasan administratif” seperti yang dialami Ary, sebagai gejala dari sistem yang longgar dan rawan rekayasa.
“Kalau NISN tidak sesuai, tunjukkan. Kalau kalah saing, tampilkan data siapa saja yang menang saing. Jangan diganti-ganti alasan seperti sedang memainkan skenario,” kata Harsono.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan yang dibuat tanpa pengawasan publik adalah pintu masuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih bila masyarakat terus diminta percaya pada sistem yang tidak bisa diuji bersama.
“Ada ribuan anak di Banten yang hak pendidikannya dipertaruhkan tiap tahun. Kalau data disembunyikan, siapa yang menjamin sistem ini bersih dari intervensi? Jangan-jangan justru ketertutupan itulah yang dipelihara untuk melindungi permainan,” ujarnya.
Sementara itu, Ary Arsa menyatakan tidak akan tinggal diam. Ia mengaku sedang menelusuri dugaan kejanggalan dalam sistem seleksi, termasuk kemungkinan adanya intervensi manual, perubahan status tanpa log, dan ketidaksesuaian algoritma zonasi.
“Saya akan telusuri semua. Ini bukan soal anak saya semata, tapi soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Kalau sistemnya bersih, kenapa harus takut dibuka?” ujar Ary.