Jakarta, Suararealitas.co – Poros Pelajar yang terdiri dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menggelar forum diskusi bertajuk “Evaluasi Program Makan Bergizi Gratis: Peran Pelajar untuk Generasi Sehat dan Cerdas” di Jakarta, Minggu (24/8).
Forum ini menghadirkan pelajar, akademisi, pemerintah, asosiasi industri, serta dunia usaha. Diskusi difokuskan pada evaluasi partisipatif terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah dijalankan pemerintah, dengan tujuan menghimpun masukan, mengidentifikasi tantangan, serta merumuskan rekomendasi strategis untuk keberlanjutan program dalam meningkatkan kualitas gizi dan pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Wadah Makanan Indonesia (APMAKI), Ardy Susanto, menyoroti aspek penting penyediaan wadah makanan (food tray) yang digunakan dalam distribusi MBG. Menurutnya, sekitar 72 persen anggota asosiasi masih berasal dari kategori UMKM, dengan sebagian kecil yang sudah memenuhi standar SNI dan sertifikasi halal.
“Produksi lokal harus diperkuat agar Indonesia tidak bergantung pada impor food tray. Wadah impor berisiko mengandung paparan logam berat yang, jika digunakan jangka panjang, bisa membahayakan kesehatan, khususnya organ hati. Karena itu pengawasan pemerintah mutlak diperlukan,” tegas Ardy.
Ia menambahkan, memperkuat industri dalam negeri bukan hanya soal keamanan pangan, tetapi juga soal penyerapan tenaga kerja dan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sertifikasi halal untuk peralatan makan pun disebutnya krusial agar masyarakat Muslim merasa aman saat mengonsumsi makanan dari program ini.
Dari dunia usaha, perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Hasan Bazri, menekankan besarnya peluang keterlibatan sektor swasta dalam memperkuat rantai pasok MBG. Ia menyebut program ini memiliki dampak ganda, baik bagi kesehatan pelajar maupun penguatan ekonomi lokal.
Berdasarkan data yang dipaparkannya, program MBG telah menjangkau sekitar 7,18 juta siswa dengan kapasitas nasional 7,8 juta, dan menargetkan 8,4 juta penerima manfaat.
“Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk Singapura, cakupan program ini setara dengan hampir seluruh populasinya. Ini menunjukkan betapa strategis dan masifnya MBG,” ujar Hasan.
Hasan menjelaskan, program MBG didesain dengan konsep modular karena menyangkut tiga aspek utama: kesehatan generasi muda, perputaran ekonomi lokal, dan penciptaan lapangan kerja. Ia mencontohkan, dalam satu kampung dengan 100 keluarga, kebutuhan pangan dari pasar lokal mulai dari beras, daging, ikan, hingga sayuran akan menciptakan perputaran ekonomi yang signifikan.
Dari sisi pembiayaan, ia menilai skema program cukup efisien. Dari alokasi sekitar Rp15.000 per porsi, sebanyak Rp10.000 digunakan untuk ekosistem produksi pangan, Rp3.000 untuk biaya operasional dan insentif relawan, serta Rp2.000 untuk dukungan infrastruktur seperti listrik, air, dan internet. Relawan yang terlibat menerima kompensasi Rp100.000–Rp150.000, namun tetap diposisikan sebagai bagian dari gerakan sosial, bukan pegawai tetap.
“Model ini melibatkan ribuan relawan dan kelompok masyarakat, sehingga tidak hanya menyehatkan pelajar, tapi juga membuka kesempatan kerja serta memberdayakan komunitas,” tambah Hasan.
Melalui forum ini, Poros Pelajar berharap evaluasi partisipatif dapat melahirkan rekomendasi strategis bagi pemerintah, sehingga Program Makan Bergizi Gratis tidak hanya menjadi program jangka pendek, melainkan strategi pembangunan jangka panjang dalam mewujudkan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing.