TANGERANG, Suararealitas .co – Tim kuasa hukum guru SMPN 23 Kota Tangerang, SY, membantah keras tuduhan pencabulan terhadap kliennya.
Melalui surat terbuka, advokat Santo Nababan, S.H., dan Antony P. Silaban, S.H., menyoroti sejumlah kejanggalan dalam laporan yang dibuat oleh S, ibu dari R.A., yang mereka nilai mengandung ketidaksesuaian yang meragukan.
Salah satu poin utama yang diangkat adalah adanya dua laporan polisi yang dibuat oleh pelapor pada hari yang sama, 25 Juni 2025, namun dengan kronologi kejadian yang berbeda.
Laporan pertama menyebutkan kejadian pada 23 Juni 2025 di ruang kelas terkunci, di mana korban diklaim diminta melakukan tindakan asusila.
Sementara laporan kedua mengklaim kejadian terjadi pada 24 Juni 2024 pukul 11.00 WIB, dengan tuduhan pelaku mencium dan memegang kemaluan korban.
“Perbedaan kronologi ini sangat signifikan dan patut dipertanyakan,” tegas Santo Nababan.
Kuasa hukum juga meragukan kredibilitas saksi-saksi yang diajukan oleh pelapor. Mereka menyatakan bahwa saksi Y (guru) dan teman korban (berusia 14 tahun) tidak berada di lokasi kejadian, tidak menyaksikan peristiwa tersebut, dan tidak pernah dimintai keterangan secara langsung oleh pelapor.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum mengklaim bahwa pada hari yang disebut sebagai waktu kejadian, pelapor justru mendampingi anaknya saat remedial Bahasa Indonesia di ruangan Wakasek Kurikulum bersama guru SY.
Mereka menegaskan bahwa ruangan tersebut terbuka dan dihadiri oleh beberapa guru serta wakil kepala sekolah.
“Kondisi ini bertolak belakang dengan klaim kejadian di ruang tertutup,” kata Santo.
Kuasa hukum juga menyinggung laporan dari ayah MJJ (berusia 15 tahun) melalui platform Speak Up.
Mereka menyoroti adanya konflik pribadi antara pelapor dan terlapor, di mana SY adalah mantan kakak ipar pelapor yang menolak membantu rujuk dengan mantan istrinya dan menolak untuk menjaga anak MJJ.
“Tidak logis jika seorang pelaku pencabulan akan mengembalikan anak tersebut langsung kepada orang tuanya,” ujar Santo.
Menutup pernyataan mereka, tim kuasa hukum meminta masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh cerita sepihak yang belum terbukti dan menyayangkan tindakan pelapor yang diduga menyebarluaskan kasus ini sebelum adanya hasil resmi dari kepolisian.
“Kasus ini menyangkut profesi mulia seorang guru. Jangan sampai opini publik dibangun dari cerita yang tidak didukung bukti valid,” pungkas Santo Nababan.(cenks)