JAKARTA, suararealitas.co – Meskipun sudah banyak diserukan kesadaran tentang kesetaraan relasi gender, tetap saja kekerasan berbasis gender masih banyak terjadi.
Akhir-akhir ini, kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah dibangun hampir kembali meredup seiring dengan perubahan cara pandang yang menyerukan secara masif.
Hal itu, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) menggelar pelatihan jurnalis dengan ‘Menulis Tanpa Stigma: Perspektif Gender dan HAM dalam Penulisan dan Pemberitaan Isu HIV’.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Koordinator Nasional OPSI, Rito Hermawan menyampaikan bahwa pendekatan aktif pada transformatif gender dilakukan secara memeriksa, mempertahankan, dan mengubah norma gender yang kaku, serta ketidakseimbangan kekuasaan dalam berupaya mengakhiri stigma dan diskriminasi HIV AIDS di semua tingkatan model sosio-ekologi.
Selain itu, juga menciptakan ruang aman untuk refleksi dan berfikir kritis untuk mengubah relasi gender yang timpang menjadi norma-norma positif, adil, dan inklusif.
“Dari segi layanan, OPSI sendiri sudah masuk di level 3 atau lebih ke netral gender,” kata Rito kerap disapa Oppa, saat ditanya soal pengawasan dan pembinaan pada orang yang hidup dengan HIV dari kelompok populasi kunci, Kamis (14/8/2025).
Menurut Oppa, bahwa tujuan diadakannya sesi ini yakni mempelajari pendekatan, mengidentifikasi berita, meningkatkan keberpihakan jurnalis, mempraktikan penerapan dalam penulisan secara luas, serta memahami perlunya menyeimbangkan refleksi pribadi dan tindakan mendukung aksi-aksi sosial untuk mengakhiri stigma hingga diskriminasi isu HIV AIDS secara luas.
Adapun, upaya mengakhiri stigma dan diskriminasi HIV AIDS dalam strategi mengubah relasi gender antara lain;
- Mendorong kesadaran kritis akan peran dan norma gender.
- Mempertanyakan konsekuensi norma-norma gender yang tidak adil dalam kaitannya dan secara eksplisit menjelaskan keuntungan dari perubahannya.
- Memberdayakan perempuan atau anak perempuan dan orang-orang dengan ragam gender.
- Melibatkan anak laki-laki dan laki-laki dengan kesetaraan gender.
Namun, tingkat respon gender terbagi enam golongan yaitu gender transformatif, responsive, sensitive, netral, blind, dan eksploitative.
Oppa mengaku, bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV (ODHIV) serta komunitas transgender masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Hal ini bukan hanya soal pemahaman medis, tapi juga dipengaruhi oleh cara penyebutan dan pilihan kata yang digunakan masyarakat maupun media.
Oppa pun, menegaskan bahwa bahasa memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik.
“Penyebutan kata itu mempengaruhi stigma dan kenyamanan ODHIV. Kalau kita menggunakan istilah yang merendahkan atau memberi label negatif, itu akan memperburuk diskriminasi. Jadi, penekanan kata sangat penting,” ujarnya.
Bahkan, penyebutan yang tepat dan berempati bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari upaya menghormati martabat manusia.
“Kita harus mulai mengganti istilah yang menyinggung dengan bahasa yang lebih manusiawi. Misalnya, bukan ‘penderita HIV’, tapi ‘Orang dengan HIV’. Begitu juga pada komunitas transgender, gunakan istilah yang mereka nyaman dengar,” tambahnya.
Stigma yang melekat sering kali membuat ODHIV dan transgender enggan memeriksakan diri atau mengakses layanan kesehatan.
Padahal, keterbukaan dan akses layanan yang ramah justru menjadi kunci memutus rantai penularan HIV. Bahasa yang inklusif bisa menciptakan rasa aman.
Dengan membiasakan diri memilih kata yang tepat, masyarakat secara tidak langsung ikut berkontribusi dalam melindungi hak asasi setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau identitas mereka.
Menghapus stigma bukan sekadar tugas pemerintah atau aktivis, tapi tanggung jawab bersama.
Setiap kata yang kita pilih bisa menjadi jembatan menuju penerimaan, atau sebaliknya tembok yang memisahkan. Karena pada akhirnya, semua orang berhak hidup sehat, aman, dan dihargai.
Sebagai informasi, dalam survei IBBS 2023 sebanyak 6,8% responden MSM menghindari layanan kesehatan akibat takut stigma, dan 4,5% mengalami stigma oleh keluarga. Stigma ini diperkuat oleh narasi media yang sering kali tidak berimbang, mengabaikan latar belakang struktural dan hak-hak korban.
Dalam konteks tersebut, jurnalis memegang peran penting sebagai agen perubahan dan menjadi ujung tombak sebagai pemberi informasi utama melalui penyajian informasi yang sensitif, adil, dan berbasis HAM.
Sayangnya, belum banyak jurnalis yang memiliki akses terhadap pelatihan khusus mengenai perspektif gender transformatif dan pendekatan hak asasi manusia dalam pemberitaan kasus HIV/AIDS.