Jakarta, Suararealitas.co – Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, mengumumkan bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan segera diresmikan sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau. Program ini diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup dua skema utama: Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial. PBPH berpotensi menyerap 20-58 ton CO₂/ha dengan harga USD 5-10/ton CO₂, sementara Perhutanan Sosial bisa mencapai 100 ton CO₂/ha dengan harga hingga EUR 30/ton CO₂.
Diproyeksikan, pada 2025, perdagangan karbon di sektor ini mencapai 26,5 juta ton CO₂, dengan nilai transaksi Rp1,6-3,2 triliun per tahun. Jika dioptimalkan hingga 2034, potensi transaksi bisa melonjak ke Rp97,9-258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak Rp23-60 triliun serta PNBP Rp9,7-25,8 triliun per tahun. Selain itu, program ini juga berpotensi menciptakan 170 ribu lapangan kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Raja Juli Antoni menegaskan bahwa perdagangan karbon bukan sekadar pengurangan emisi, tetapi juga bagian dari upaya reforestasi melalui strategi Afforestation, Reforestation, and Revegetation (ARR). Untuk memperkuat daya saing global, pemerintah tengah menuntaskan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung Mei 2025.
Selain itu, pemerintah juga sedang merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.
“Dengan langkah-langkah ini, perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi motor utama ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Ini sejalan dengan visi Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” tutup Menteri Kehutanan.