Jakarta,Suararealitas.co – Setelah tertunda selama 14 tahun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta akhirnya mulai membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada pertengahan tahun 2025. Pembahasan ini disambut positif oleh berbagai kalangan sebagai langkah strategis untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama generasi muda.
Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Roosita Meilani Dewi, menyatakan bahwa langkah DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi. Ia menekankan bahwa dorongan pengesahan Raperda KTR didasarkan pada landasan hukum yang kuat, mulai dari Pasal 28H UUD 1945 tentang hak hidup sehat hingga Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Roosita juga menepis kekhawatiran bahwa Raperda KTR akan berdampak negatif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut data Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta, penerimaan dari pajak reklame tetap stabil bahkan meningkat sejak diberlakukannya larangan iklan rokok melalui Pergub No. 1 Tahun 2015. Tercatat, pajak reklame meningkat dari Rp714,9 miliar pada 2015 menjadi Rp961,3 miliar pada 2024, bahkan sempat mencapai puncak tertinggi sebesar Rp1,095 triliun pada 2022.
“Fakta ini membantah narasi bahwa larangan promosi rokok akan mengurangi PAD. Justru, rokok merupakan komoditas pengeluaran terbesar kedua rumah tangga, yaitu Rp79.226 per bulan menurut data Susenas 2019, yang berdampak buruk bagi ekonomi keluarga pra sejahtera,” kata Roosita.
CHED mendesak DPRD DKI Jakarta untuk segera mengesahkan Raperda KTR dengan tiga alasan utama:
1. Melindungi hak atas kesehatan masyarakat sebagai bentuk implementasi Hak Asasi Manusia,
2. Mencegah adiksi nikotin di kalangan generasi muda,
3. Memperkuat konsistensi kebijakan pengendalian tembakau di Ibu Kota.
Ketua Smoke Free Jakarta, Dollaris Riauaty Suhadi, menambahkan bahwa Raperda KTR merupakan upaya untuk menyatukan berbagai peraturan sebelumnya menjadi satu regulasi yang kuat dan komprehensif. Raperda ini juga memperluas cakupan kebijakan, termasuk sanksi bagi pelanggar serta pelarangan promosi, sponsor, dan penggunaan rokok elektronik.
“Pandangan negatif bahwa kebijakan KTR akan mengganggu kegiatan ekonomi tidak terbukti, baik di Jakarta, di Indonesia, maupun di kota-kota global lainnya. Tidak ada data yang mendukung bahwa pelarangan iklan rokok berdampak pada penurunan ekonomi,” tegas Dollaris.
Berdasarkan survei yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2009, 2011, dan 2013, mayoritas masyarakat, termasuk perokok, mendukung peraturan larangan merokok di ruang publik tertutup. Sebanyak 949 dari 1.841 responden menyatakan dukungan terhadap larangan tersebut, bahkan 954 responden yang merupakan perokok juga mendukung regulasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Titik Suharyati, menegaskan bahwa fokus utama Raperda KTR adalah melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Menurutnya, tanpa regulasi yang ketat, prevalensi perokok anak terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Melindungi anak-anak dari paparan rokok adalah investasi jangka panjang bangsa. Generasi muda yang sehat, cerdas, dan kuat adalah aset negara yang tidak tergantikan,” ujar Titik.
Sementara itu, Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), dr. Sumarjati Arjoso, SKM, mendukung penuh pengesahan Raperda KTR yang sejalan dengan indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Ia menekankan pentingnya mempertahankan larangan total iklan rokok, termasuk penjualan rokok elektronik, rokok batangan, serta mengintegrasikan layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) dalam regulasi tersebut.
Dengan momentum 14 tahun penantian, pengesahan Raperda KTR diharapkan menjadi titik balik bagi Jakarta untuk menjadi kota percontohan pengendalian tembakau di Indonesia.