JAKARTA, suararealitas.co – Seorang advokat muda, Syamsul Jahidin melayangkan gugatan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/6/2025) kemarin.
Dirinya hendak menggugat persoalan uji konstitusionalitas Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya.
Penggugat dengan sidang perkara nomor 84/PUU-XXIII/2025 menilai, bahwa frasa “bertindak menurut penilaiannya sendiri” dalam Pasal 18 Ayat (1) bisa merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebagai advokat yang kerap mendampingi klien baik di dalam maupun di luar pengadilan, saya merasa pasal ini rawan disalahgunakan oleh aparat. Frasa tersebut sangat multitafsir dan tidak memiliki parameter yang jelas, sehingga aparat bisa bertindak sewenang-wenang dengan mengatasnamakan kepentingan umum,” ujar Syamsul, dalam gelaran sidang uji konstitusionalitas UU Polri di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), seperti dikutip dari kompas.com, Selasa (3/6/2025).
Syamsul merasa, dalam pasal tersebut bahwa ada ketidakjelasan definisi kepentingan umum sehingga membuka celah penafsiran yang subjektif.
“Frasa ini (bertindak menurut penilaiannya sendiri) seharusnya merupakan konsep hukum yang memiliki batasan dan diawasi oleh norma objektif, serta bukan diserahkan secara penuh kepada aparat,” imbuhnya.
Selain itu, Syamsul juga menyoroti soal lemahnya mekanisme kontrol atas pelaksanaan pasal tersebut.
Pasalnya, aparat dalam praktiknya menggunakan Pasal 18 Ayat (1) sebagai tameng untuk membenarkan tindakan yang berlebihan atau melampaui wewenang.
Bahkan, dalam pengalaman pribadinya di wilayah Kalimantan Barat, Syamsul pun mengaku mengalami hambatan dalam memperoleh informasi dan kepastian hukum dari institusi kepolisian, khususnya dari Bidang Propam Polda Kalbar.
“Pasal ini bukan hanya rawan multitafsir, tapi juga berpotensi menjadi alat pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu citra kepolisian atau bahkan terhadap lawan politik,” ujar dia.
Kendati begitu, dalam petitumnya, dia meminta kepada MK untuk menyatakan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.