![]() |
Sosok Marinir TNI-AL, Haji Heri Mulyo Sugiarto dan Umi tercintanya, Umi Nurgaya Binta’lab. (Foto: Suara Realitas) |
JAKARTA – Kita sebagai masyarakat hanya melihat dan mengetahui bahwa Marinir adalah tentara yang kuat dan ta’at beragama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun menjadi prajurit Marinir TNI-AL bukan lah perkara yang mudah. Terlebih untuk bisa lolos seleksi penerimaan menjadi anggota TNI butuh perjuangan dan kerja keras yang besar di samping doa kepada Sang Pencipta (Allah SWT).
Ternyata dibalik kuatnya sosok Marinir TNI-AL, Haji Heri Mulyo Sugiarto tumbuh besar sebagai yatim, yang lahir dari kandungan seorang ibu Betawi Asli kampung Tanah Abang, sedangkan ayahanda nya yang bernama Abdul Yahya ternyata juga seorang Purna Bhakti dari Marinir TNI-AL, dan Umi tercintanya adalah Umi Nurgaya Binta’lab anak dari seorang tokoh Betawi Tanah Abang, Jakarta Pusat yaitu Ali Barak Binta’lab.
Sementara itu, Heri kecil hanya dapat mendengar sosok keberanian dan kebaikan ayahnya sebagai prajurit dari teman-teman ayahnya saja, karena sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya pulang ke rahmatullah.
Namun Heri tumbuh besar dari hasil jerih payah tangan seorang janda keturunan Betawi yang ta’at beragama, akhirnya dari ajaran disiplin pendidikan agama yang beliau tanamkan kepada anak-anaknya sejak kecil, Heri yang dulu kecil tumbuh besar menjadi seorang Prajurit Militer yang mengambil jalan hidupnya untuk mengabdikan dirinya selama 32 tahun untuk negara dan masyarakat.
Walaupun Umi Nurgaya harus menghidupi 7 orang anak-anaknya dengan hanya sebatangkara, beliau tidak pernah putus asah, beliau yakin dibalik kesabaran dan ketelatenannya untuk menghidupi anak-anaknya ada campur tangan Allah Ta’ala yang berpihak kepadanya.
Meskipun hanya seorang pedagang makanan kecil yang memiliki keterampilan sebagai penjahit baju, dari penghasilannya itu ia bersyukur bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat dibangku kuliah sebagai sarjana.
Meskipun sebagai anggota militer, Haji Heri masih tetap berkecimpung bersama masyarakat dan para tokoh-tokoh agama yang ada di Jakarta didalam majelis-majelis ta’lim, hingga saat ini ia masih tekun duduk didalam majelis ta’lim Nurul Musthofa yang dipimpin oleh Al-Habib Hasan bin Ja’far Assaqof, ia memperdalam ilmu agama dan selalu mendapatkan nasehat-nasehat baik tentang kehidupan dari Habib Hasan.
Dari pengalaman dan pelajaran yang didapatkannya itu, kemudian melahirkan sebuah kepercayaan besar dari teman-temannya untuk memimpin di beberapa organisasi yang diantaranya Ikatan Alumni SMA PGRI 8 Jakarta, Majelis Nurul Musthofa (Nurmus), Majelis Ukhuwah Islamiah DKI Jakarta, Majelis Ukhuwah Islamiah (MUI) DKI Jakarta, dan turut ada dalam supremasi penegakkan hukum di kantor Perkumpulan Advokat Betawi (PADI) DKI Jakarta.
Bahkan Haji Heri berpegang teguh dari ajaran gurunya Habibana Hasan bin Ja’far untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang banyak, karena kecintaan dan kepatuhan kepada orang tua dan guru membangun sosok yang disegani dan dicintai masyarakat serta para ulama Betawi dan ulama Jawa Tengah ditempat ia pernah berdinas dahulu.
Kemudian Haji Heri memegang prinsip “akhir dari sebuah pengabdian kita sebagai hamba kepada sesama adalah kematian,” hal itulah yang membuat dirinya tetap konsisten dan amanah hingga sekarang.*(Za)