Jakarta, Suararealitas.co – Ketegangan bersenjata yang kian berkobar-kobar antara Iran dan Israel, telah menciptakan guncangan luas dalam sistem perdagangan dan logistik global. Konflik ini segera memicu lonjakan harga minyak mentah dunia yang menembus angka USD 120 per barel, diiringi dengan ketakutan pasar akan potensi gangguan di Selat Hormuz—jalur pelayaran strategis yang mengalirkan hampir sepertiga dari ekspor minyak global.
Menurut pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar., gangguan di kawasan Teluk Persia memiliki efek berantai yang sangat serius bagi sistem ekonomi dunia. Ia menegaskan bahwa gangguan di Selat Hormuz adalah pukulan keras bagi sektor maritim global yang saat ini menopang lebih dari 80 persen volume perdagangan dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ketika jalur pelayaran utama energi dan komoditas terganggu, maka sistem logistik dunia dipaksa menyesuaikan rute, waktu, dan biaya. Ini menimbulkan gelombang biaya tambahan yang sangat signifikan, termasuk pada sektor pelayaran Indonesia,” jelas DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar, di Jakarta, (17/06/2025). Diingatkan pula olehnya bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sangat merasakan dampaknya.
Pengamat maritim yang terkenal kritis ini memberikan analisisnya bahwa dalam waktu singkat, biaya pengapalan barang dari dan ke pelabuhan Indonesia dapat meningkat tajam. Kenaikan harga bunker fuel dan premi asuransi pelayaran membuat tarif freight naik 20 hingga 30 persen. Jelaslah ini langsung berdampak kepada daya saing ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara, CPO, karet, dan produk perikanan.
“Arus barang di pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan mengalami perlambatan karena banyak operator kapal menunda atau mengalihkan pelayaran mereka untuk menghindari risiko geopolitik dan beban biaya,” jelas Capt. Hakeng seraya menekankan juga subsektor perikanan nasional bisa terpukul.
Capt. Hakeng menyoroti pula manakala kenaikan harga bahan bakar bisa menyebabkan nelayan kecil harus membayar lebih dari dua kali lipat untuk setiap liter solar. “Akibatnya, banyak nelayan di daerah seperti Bitung, Kendari, dan Sibolga memilih tidak melaut. Hal ini berdampak langsung pada pasokan komoditas laut, menaikkan harga ikan di pasar domestik, dan memperlemah daya beli masyarakat. Ketahanan pangan laut pun ikut terganggu dalam waktu yang singkat,” tuturnya.
Ditambahkan olehnya bahwa sektor pelayaran nasional pun tak luput dari tekanan. “Armada pelayaran dalam negeri, yang sebagian besar masih terdiri dari kapal tua, mengalami lonjakan biaya operasional akibat harga bahan bakar dan asuransi. Situasi ini menurunkan frekuensi pelayaran dan membuat industri perkapalan nasional kehilangan efisiensi,” ujar Capt. Marcellus Hakeng.
Ia mengingatkan bahwa bila kondisi ini terus berlangsung dalam dua hingga tiga bulan, ancaman pemutusan hubungan kerja massal di sektor pelayaran dan pelabuhan menjadi sangat nyata. “Bahkan, jasa pelabuhan pun mengalami penurunan volume muatan karena eksportir dan importir menahan pengiriman akibat ketidakpastian biaya dan waktu,” tandas Capt. Hakeng seraya menekankan bahwa secara makro, Indonesia menghadapi tantangan ganda.
Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga energi menimbulkan beban fiskal besar terhadap APBN. Kementerian Keuangan memperkirakan potensi pembengkakan subsidi energi bisa mencapai Rp 75 triliun apabila harga minyak dunia bertahan di atas USD 110 per barel dalam jangka menengah. “Maka kenaikan biaya logistik domestik, akibat tekanan maritim pun, akan menyebabkan inflasi barang konsumsi, dan meningkatnya harga bahan pokok, terutama di kawasan timur Indonesia yang sangat tergantung pada distribusi laut,” jelas Capt. Hakeng.
Meskipun krisis ini juga membuka peluang strategis, seperti pengalihan rute pelayaran global dari Teluk Persia ke Samudra Hindia dan Asia Tenggara, namun Capt. Hakeng menilai bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menangkap peluang tersebut. “Pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung seharusnya bisa berperan sebagai simpul logistik regional, tetapi masih menghadapi hambatan struktural seperti lamanya waktu pendangkalan alur yang selalu jadi momok, bongkar muat (dwelling time), konektivitas hinterland yang belum memadai, dan belum tuntasnya reformasi digital logistik nasional,” ucap Capt. Hakeng.
Ia menambahkan bahwa investor pelayaran global akan berpikir dua kali untuk menjadikan Indonesia sebagai hub logistik bila biaya dan efisiensinya belum kompetitif dibanding pelabuhan regional seperti Singapura atau Port Klang.
Risiko asuransi pelayaran internasional juga meningkat tajam akibat status kawasan Teluk sebagai zona konflik. Perusahaan asuransi internasional menaikkan premi untuk kapal-kapal yang melintasi wilayah tersebut, termasuk tanker energi. “Biaya ini ditransfer kepada operator pelayaran global dan berdampak pada negara-negara di luar zona konflik, termasuk Indonesia. Bagi industri pelayaran nasional yang masih menghadapi keterbatasan pembiayaan dan belum sepenuhnya modern, kondisi ini menambah beban besar terhadap kelangsungan bisnis,” ujarnya.
Capt. Hakeng mengingatkan bahwa perang Iran-Israel ini juga bisa mempercepat proses fragmentasi sistem perdagangan global. “Kebijakan sanksi sekunder Amerika Serikat terhadap negara-negara yang menjalin hubungan dagang dengan Iran,menyebabkan terciptanya blok-blok ekonomi yang saling eksklusif,” tambah Capt. Marcellus Hakeng seraya mengimbuhkan bahwa meskipun Indonesia tidak secara langsung menjalin kerja sama strategis dengan Iran, struktur perdagangan global yang terdikotomi ini tetap memengaruhi fleksibilitas jalur perdagangan Indonesia.
Dalam situasi yang kompleks dan dinamis ini, Capt. Marcellus Hakeng menyerukan respons strategis dari pemerintah. Menurutnya, percepatan pengembangan pelabuhan berstandar internasional harus menjadi prioritas, dengan memastikan proyek-proyek seperti Patimban, Bitung, dan Kuala Tanjung berjalan efektif dan efisien. “Dari itu perlu ada kebijakan fiskal yang lebih tajam untuk melindungi sektor perikanan dan pelayaran rakyat dari tekanan harga energi global. Pemerintah juga perlu memperkuat armada pelayaran nasional, mendorong industri galangan kapal, serta menyiapkan sistem logistik yang terintegrasi dari laut hingga daratan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Captain Hakeng memberitahukan pula bahwa krisis ini adalah pengingat bahwa ekonomi maritim bukan hanya sektor teknis, melainkan urat nadi dari kedaulatan ekonomi bangsa. “Laut bukan hanya jalur transportasi, tetapi cermin dari kekuatan nasional di bidang energi, pangan, perdagangan, dan ketahanan logistik. Jika tidak dikelola secara serius, tekanan eksternal sekecil apa pun akan mengguncang fondasi perekonomian nasional. Sebaliknya, jika diperkuat, sektor maritim bisa menjadi tameng strategis dalam menghadapi krisis global seperti yang kini sedang terjadi,” imbuh Capt. Hakeng .