KABUPATEN TANGERANG, Suararealitas.co – Reaksi memalukan diperlihatkan pejabat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Tangerang saat dimintai tanggapan atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kepala Bidang Pendataan, Penetapan, dan Penilaian Pajak Daerah, Dwi Chandra Budiman, S.STP., M.Si., justru menanggapi dengan tawa saat dikonfirmasi wartawan soal keabsahan dasar pemungutan pajak yang disorot BPK.
“Ha ha ha… selama belum ada Perbup baru, ya yang lama masih berlaku. Kami pungut pajak berdasarkan Undang-Undang, bukan cuma Perbup. Karena Perbup itu cuma teknis,” ucap Dwi, sembari menyelipkan tawa di antara kalimatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan itu sontak menyulut kecaman. Pasalnya, yang ditanggapi dengan gelak adalah temuan resmi lembaga negara terhadap pengelolaan keuangan publik—bukan lelucon politik, bukan sindiran ringan, melainkan hasil audit atas penggunaan uang rakyat.
Dwi berdalih, lambannya revisi Peraturan Bupati (Perbup) disebabkan karena status penjabat (Pj) kepala daerah yang membuat proses harmonisasi regulasi harus melewati pemerintah provinsi dan Kementerian Dalam Negeri.
“Bukan hanya kami. Hampir semua daerah yang dipimpin Pj mengalami hal yang sama,” tambahnya.
Namun bagi pemerhati kebijakan publik, Muhamad Harsono Tunggal Putra, alasan birokrasi tidak bisa dijadikan tameng atas ketidakpatuhan. Ia menyebut tawa Dwi sebagai simbol matinya rasa tanggung jawab pejabat publik terhadap sistem pengawasan negara.
“Yang dia tertawakan itu bukan selembar laporan. Itu hasil audit negara atas potensi penyimpangan penggunaan uang rakyat. Dan dia tertawa? Itu bukan sekadar tidak etis—itu pelecehan,” tegas Harsono.
Menurutnya, pejabat semestinya menjawab temuan BPK dengan sikap serius, bukan menjadikannya bahan candaan birokrasi. Sebab yang disorot adalah praktik pungutan yang tak lagi punya dasar regulasi mutakhir, namun tetap dijalankan.
“Ini bukan soal Perbup. Ini soal keberanian pejabat publik untuk jujur bahwa mereka menarik uang rakyat di atas dasar yang sudah lapuk. Dan ketika dipertanyakan, mereka bukan hanya berdalih—mereka menertawakannya,” ujarnya.
Harsono menyebut, jika seorang pejabat publik mampu menertawakan koreksi dari lembaga pengawas negara, maka yang sedang dihadapi bukan sekadar kesalahan administratif, tapi kerusakan watak.
“Hati-hati. Hari ini mereka menertawakan BPK. Besok mungkin mereka menertawakan hukum, konstitusi, dan rakyat itu sendiri,” pungkasnya.