Jakarta, Suararealitas.co – Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) secara resmi menyampaikan keberatan terhadap rencana kenaikan tarif royalti nikel berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), APNI menyoroti dampak negatif yang akan timbul dari kebijakan ini terhadap industri pertambangan nikel di Indonesia, terutama di tengah tantangan eksternal dan internal yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dasar Keberatan
APNI menilai bahwa kenaikan tarif royalti untuk bijih nikel, yakni 14-19%, dan produk olahan (FeNi/NPI 5-7%) tidak realistis dan tidak mempertimbangkan kondisi riil industri. Beberapa poin utama yang menjadi dasar keberatan APNI adalah sebagai berikut :
1. Tarif Royalti Tidak Realistis dan Progresif
•Harga nikel global terus mengalami penurunan, sementara biaya operasional melonjak akibat kenaikan harga biosolar B40, upah minimum, PPN 12%, dan kewajiban DHE ekspor 100%;
• Investasi smelter yang padat modal dan berisiko tinggi, dengan biaya pembangunan mencapai US$1,5-2 miliar per smelter, belum termasuk biaya reklamasi, PNBP, PPM, dan pajak global (Global Minimum Tax 15%); dan
• Kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi penambang secara signifikan, bahkan membuat margin yang tersisa lebih kecil daripada biaya produksi sejumlah penambang.
2. Akumulasi Beban Kewajiban Sektor Tambang•
Industri saat ini menanggung 13 beban kewajiban yang signifikan, termasuk biaya operasional tinggi, pajak dan iuran, serta kewajiban non-fiskal, seperti reklamasi pascatambang dan rehabilitasi daerah alliran sungai (DAS);
3. Dampak terhadap Investasi dan Daya Saing
• Kenaikan royalti berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel, menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global, dan memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
4. Pengaruh Harga terhadap Cadangan Mineral
• Kenaikan tarif royalti yang menekan margin produksi akan memaksa penambang meningkatkan cut off grade, sehingga volume cadangan akan menyusut signifikan. Hal ini akan mengurangi tingkat produksi dan life of mine, yang pada akhirnya justru mengurangi penerimaan negara dalam jangka panjang.
Alternatif Solusi
APNI mengusulkan beberapa alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah, antara lain :
1. Revisi formula Harga Mineral Acuan (HMA) Bijih Nikel untuk memperhitungkan kandungan besi dan kobalt, selain nikel;
2. Formula Penyesuaian Tarif Berdasarkan Harga Komoditas, sehingga royalti meningkat hanya ketika harga nikel di atas level tertentu (misalnya: US$24.000/ton).
3. Insentif Fiskal untuk Smelter, seperti penurunan tarif royalti bagi perusahaan yang telah berinvestasi di hilir.
4. Peninjauan Ulang Skema Pajak dan Iuran untuk menghindari tumpang-tindih kewajiban (PPN, PPh, PNBP, GST).
Permohonan APNI
APNI memohon agar pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan tarif royalti yang progresif, realistis, dan berkeadilan. Selain itu, APNI juga menyarankan adanya dialog terbuka antara pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha guna menyusun skema win-win solution yang dapat mendukung kelangsungan hilirisasi nikel yang berkelanjutan.
Sebagai bentuk komitmen, APNI siap menyertakan data teknis dan analisis finansial untuk mendukung usulan penyesuaian kebijakan ini.